lanjutan dan ending dari Post #17 ALTER;
Nampak siluet Bapak tak jauh dari rumahnya, berjalan ke pinggir pantai. Terlihat Bapak melambai pada Mas Bambang, koleganya. Cieelah, kolega. “Bapak hati-hati ya,” bisik Enggar dalam batinnya. Ia masuk rumahnya, memeluk Ibu, mencium adiknya, membilas tangan dan wajahnya, mengambil nasi. Makan. Itulah harinya, hari itu. “Aku tidur ya, Bu. Selamat malam,” celetuknya setelah mencuci piring bekas makannya. “Gar, sini. Ibu sayang kamu, tahu? Kamu, Bapak, sama Adik adalah emas paling berharga buat Ibu. Kamu hati-hati ya, Gar,” kata Ibu halus. Kecupannya menghangatkan Enggar malam itu. Malam terakhir itu.
“Agus, Ibu bilang sayang. Buat kamu juga lho,” bisik Enggar, “ Ibu bilang hati-hati. Sama kayak buat Bapak semalam.” Tangisan adiknya menyadarkan Enggar dari pembicaraannya dengan Agus. Enggar berjalan keluar, melihat dari balik tembok pemisah ruangan. “Hati-hati yaa, adek,” kata Ibu kepada bayi mungil di gendongannya, “Mas Enggar sama Bapak sama Ibu sayang sama Adek.”
Tiap pagi, sinar matahari hangat menyinari jendela kamarnya, membangunkan dia. Tidak hari itu. Jerit-jerit ibu-ibu tetangga pilu. Tangis anak-anak kecil pekik. Enggar bangun. Adek menangis. Bapak berlari. Agus ribut.
Ibu mati. Dua kata kejam itu mengulang-ngulang di nalar Enggar. Nelayan-nelayan menambatkan bargasnya. Ibu-ibu meletakan jajanannya atas pasir. Mengerumuni Ibu, kini tak bernyawa, terbaring damai di pesisir pantai. Bapak menjerit-jerit. Enggar terdiam, menggedong Adek. Tak sanggup menangis. Jangan menangis, berkatapu Enggar tak sanggup. Wajah Ibu yang damai, putih, terbasuh air laut. “Hati-hati ya, Bu. Sampaikan salamku buat dollar,” bisik Enggar dalam batinnya. Sesaat ia dengar suara Ibu, “Yaa, sayang.”
Faktanya, hari ini. Berdetik-detik. Bermenit-menit. Berjam-jam. Berhari-hari. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun setelah hari itu. Enggar berdiri di tepi pantainya. Menatap langitnya. Iya, langitnya. Membayangkan Ibu, Bapak. “Bu, Pak, Enggar udah pulang. Kemaren Enggar pergi ke seberang. Belajar Enggar. Sekarang Adek baik kabarnya. Kami sehat,” katanya. Enggar merasa air matanya mengalir. Jatuh. “Gus, temenin Bapak sama Ibu ya,” bisiknya pada Agus, lautnya. Lautnya.