Ada manusia yang senang berbicara kepada dirinya sendiri. Ada pula manusia yang senang termangu. Ada juga yang hanya duduk terdiam. Semua variasi yang dilakukan manusia ketika sendiri adalah untuk kesenangannya sendiri.
Lihat Enggar, hidupnya yang tenang, jauh dari keramaian. Iri? Pastilah. Rumahnya sederhana, hidupnya sederhana, keluarganya sederhana. Dan bahagia.
Tiap pagi, sinar matahari hangat menyinari jendela kamarnya, membangunkan dia. Tiap pagi ia bangun dan membantu Ibu memasak makan untuk keluarganya. Tiap pagi ia menyambut Bapak pulang kerja. Tiap pagi ia tersenyum bahagia melihat adik bayinya.
“Enggar main dulu yaa, Bu!” katanya. “iyaa, nak. Hati-hati, jangan bandel,” pesan Ibu. Berlarilah Enggar menuju lautan luas. Halamannya. Taman bermainnya. Sahabatnya. Ia mengamati orang-orang yang ber-ini-itu di tepi pantainya. Iya, pantainya. Miliknya. “Gus, kamu tau ngga? Itu orang-orang sebenarnya ada apa? Berhuru-hara?” katanya. Enggar tersenyum. “Tadi malam, Ibu cerita, katanya ada berita besar di radio,” katanya lagi, “harga barang-barang naik, Gus.”
Ramai suara orang-orang tadi sayup-sayup hilang. Sepi. “Ibu juga bilang, dollar melemah. Dollar siapa yaa? Sepertinya dunia kaget sekali,” kata Enggar. Masih tersenyum, kini sayu. “Ibu bingung. Semalam Ibu takut waktu Bapak mau pergi,” ceritanya “kata Ibu, hati-hati. Begitu terus sampai mengantar Bapak pergi. Ada apa yaa? Aku takut Ibu ada apa-apa, Gus.” Enggar kini berbaring di hamparan pasir luas dibelai lembut angin sepoi-sepoi. “Heran deh, Gus, kata Bapak ada pemanasan global, tapi panasnya segitu-gitu aja,” sahutnya polos, “tapi, di kampung Paman katanya tidak air.” Enggar mengangkat kepalanya, dan hari sudah petang. Mataharinya terbenam. Iyaa, mataharinya.
jakarta, 27 april 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar