Sahabat Kecil
By : Ipang OST Laskar Pelangi
Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi
Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa dibeli
Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya
Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan
Takkan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi
Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya
Janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
Sekedar Kata Pengantar
Live In VIII Kolese Gonzaga yang aku ikuti dilaksanakan di Paroki St. Yusuf, Baturetno, Wonogiri pada tanggal 9-12 Februari 2009. Acara ini bertemakan “Semangatku Mengubah Hidupku”. Dalam buku panduan mengerjakan tugas ini, latar belakang kegiatan live in adalah situasi jaman yang makin berkembang ke arah yang lebih kompleks dan sulit, dan ternyata siswa dan siswi kurang memperoleh kesempatan untuk merenungkan, mengintepretasikan, mengaitkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang telah dipelajari. Serta tertulis juga rentetan tujuan acara, ada 6 buah banyaknya. Kurang lebih, adalah tujuan penyelenggara untuk menjadikan peserta sebagai manusia sosial yang mengenal dirinya sendiri, peka terhadap keadaan di sekitarnya dan dengan kepekaan itu memiliki rasa empati dan peduli terhadap manusia lain, serta mudah beradaptasi. Di halaman lain pun tertulis, “... mempersiapkan agar peserta live in mampu dan siap untuk terjun di masyarakat dengan lebih baik.”
Bila aku lihat semua itu, aku melihat satu tujuan besarnya : memanusiakan manusia. Sama dengan visi organisasi pendahuluku. Hari-hari ini manusia modern sudah hampir kehilangan segala nilai kemanusiaan. Segala privilege yang disediakan oleh uang dan modernisasi, menciptakan manusia-manusia yang adiktif dan cenderung egois dan ‘menghewankan’ manusia lain.
Untuk solusi jangka pendek, aku setuju kegiatan live in ini adalah sarana untuk menciptakan manusia yang berbeda dari itu semua dan humanis – yang manusia – diantara masyarakat dunia yang amburadul.
Judul yang aku ambil : belajar membuat bintang, bertitik tolak dari suatu pengalaman dengan seorang anak kelas 2 SD di rumah keluarga angkat – bukan, keluargaku – di sore terakhir di Ngawu. Lagu yang aku lampirkan di atas adalah lagu yang disebutkan dalam homili misa penutupan live in. Lagu itu merangkum semua pengalaman, pembelajaran, dan penerapan nilai milikku dalam live in, jadi mengapa tidak aku coretkan disini?
Aku tidak ingin ini menjadi tugas yang kaku, karena ini mungkin adalah satu-satunya bukti hitam-putih atas pengalamanku disana. Aku juga tidak ingin hanya membawa guru dan pembimbingku sebagai pembaca tulisan ini, aku ingin semua yang bisa membaca ini merasa diajak dan masuk ke dalam cerita ini, tanpa status maupun stratifikasi profesi. Jadi, semua dibawah ini aku tuliskan untukmu, seorang kawan yang kebetulan menemukan dan membaca ini.
Keluargaku, Masyarakatku, dan Kehidupanku yang Baru Saat Itu
Kalau menurut buku pedoman ini adalah Analisis Sosial, kalau menurut peserta live in yang lain ini ANSOS, kalau menurut aku ini kisah tersendiri antara aku dengan keluargaku, masyarakatku, dan kehidupanku yang baru saat itu.
Kehidupanku beberapa hari disana adalah mengenal mereka. Keluargaku disana adalah Mbah Kakung Atmo dan Mbah Uti Kartiyem, Ibu Darni dan Bapak Fransiskus, dan Maila. Bila boleh kukatakan dengan jujur, keluarga ini tak berbeda jauh dengan keluargaku di kampung yang lain. Aku tinggal di kampungku dengan kakek dan nenekku. Keluarga Mbah Atmo hidup dari bertani dan, jangan lihat sebelah mata, sawah mereka luas sekali. Mbah Atmo sendiri berkata bahwa mereka tidak pernah tidak berkecukupan. Setiap anggota keluarga Mbah Atmo memegang peranan yang berbeda dan sama – tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah – dan sama pentingnya. Sehingga tidak ada satu orang menonjol yang mendominasi rumah tangga.
Ketika aku datang kesana panen sudah selesai dan jagung-jagung pun sudah selesai diselesaikan. Hanya terdapat tumpukan tinggi janggel – bekas jagung – di dapur dan digunakan sebagai kayu bakar. Kegiatan sehari-hari pun hanya matun – mencabut rumput di sawah untuk makan hewan ternak.
Kehidupan masyarakat di Desa Ngawu pun unik di mataku. Sebagian besar warga adalah umat beragama Katolik dan saling mengenal dekat satu sama lain. Rumah satu dengan yang lain pun bisa saja masih memiliki hubungan keluarga.
Seperti kata Mbah Atmo, mereka tidak pernah tidak berkecukupan. Dengan atau tanpa bantuan pemerintah sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan, Desa Ngawu mempunyai cara hidup tersendiri untuk survive. Disana terlihat sekali partai politik yang menonjol, PDI Perjuangan. Di pintu-pintu rumah terdapat gambar tempel partai banteng merah itu.
Aku melihat disana bahwa agama menjadi suatu aspek spesial dalam kehidupan sehari-hari. Ketika diadakan sebuah kebaktian dengan romo, aku melihat anggota keluargaku menggunakan pakaian-pakaian terbaiknya. Menjadi dirimu yang terbaik ketika menghadap Allah. Indah.
Tidak Mengerti Tidak Melakukan
Kehidupanku tiga hari disana mungkin terkesan gabut, dan kalau mau dikatakan aku tidak memiliki pembelaan apa-apa. Panen sudah selesai dan pekerjaan di sawah kurang lebih sudah. Aku tidak mengerti apa yang harusnya aku lakukan disana dan aku juga tidak mengerti sepenuhnya bahasa hari-hari mereka, Bahasa Jawa. Aku malu sebagai seorang Jawa. Masalah komunikasi menjadi dasar mengapa aku tidak melakukan banyak hal seperti yang mungkin dilakukan kawan-kawanku di lain rumah.
Aku mengenal mereka dan berani aku katakan bahwa aku dekat dengan mereka. Aku berbicara dan berinteraksi dengan setiap anggota keluargaku. Aku belajar dengan melihat kegiatan mereka sepanjang hari. Aku melihat adanya kerjasama yang solid antar setiap anggota keluarga.
Aku, jujur, diberi kesempatan bekerja pun tidak mengerti apa yang aku lakukan. Aku tidak tahu apakah aku melakukannya dengan benar.
Aku juga belajar mengenal masyarakat di Desa Ngawu. Mereka sangatlah ramah dan murah senyum. Kata Ibu Darni, “Orang disini banyak senyum, nggak seperti di Jakarta. Sama orang di depan rumah saja belum tentu kenal.” Apakah benar? Benar.
Empat Aspek yang Membuat Manusia Menjadi Manusia
Aku lebih banyak berinteraksi dan belajar di dalam rumah. Aku tidak terlibat banyak dalam kerja outdoor, sesuatu yang sangat biasa aku lakukan. Aku banyak mengobrol dengan anggota keluargaku di rumah. Paling banyak, aku berbincang dengan Ibu Darni dan Mbah Atmo karena Bahasa Indonesia mereka fasih. Mbah Kartiyem lebih banyak menampilkan rasa sayang keibuan, memperhatikan aku.
Salah satu pelajaran dari Mbah Atmo adalah empat aspek yang membuat manusia itu sepenuhnya manusia, yakni pintar, tahu, mengerti, dan empati. Seorang manusia pada dasarnya pintar dan semakin ia tumbuh semakin berkembang pengetahuan yang ia miliki. Setelah manusia itu pintar, ia harus tahu bagaimana menggunakan dan fungsi kepintaran yang ia punya, tidak dengan semena-mena ia gunakan. Kepintaran seorang manusia tidak diciptakan untuk dirinya sendiri. Maka dari itu, haruslah seorang manusia mengerti, pengertian, dengan manusia lain. Dari rasa pengertian itulah akan muncul empati, tidak hanya mengerti situasi dan kondisi orang lain yang mungkin berbeda dengan kita, tetapi juga melakukan dan merasakan.
Keempat aspek itulah yang menjaga manusia agar tetap ‘sempurna’. Perkembangan zaman adalah sesuatu yang mutlak terjadi dan manusia bolehlah mengikuti perkembangan tersebut. Tetapi dalam setiap perbuatan dan perkataannya tetap melihat ke belakang dan apa akibatnya, bila tidak manusia itu akan jatuh. “Bila manusia terlalu maju, manusia itu akan jatuh,” pesan Mbah Atmo.
Kehilangan salah satunyalah yang membuat manusia menyeleweng dan dibutakan hal-hal duniawi, seperti korupsi. Hancurnya bangsa ini adalah karena manusia kehilangan aspek kemanusiaannya.
Aku Diajari Membuat Bintang
Di sore terakhir pelajaranku disana, aku diajari membuat bintang oleh Maila, anak kelas 2 SD di rumah keluargaku. Maila menunjukan aku bagaimana membentuk sebuah bintang dari karet gelang. Dia dengan begitu polos dan lugunya mengajarkan aku yang tidak cepat menangkap gerakannya. Sembari belajar main karet, Maila menyanyikan lagu Kemuliaan dan Tuhan, Kasihani Kami.
Membuat bintang dari karet gelang tidak berarti hanya membuat bintang dari karet gelang untukku. Dalam setiap hari aku belajar, aku selalu berpegang kata-kata Bung Karno, “Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang.” Aku memiliki mimpi, yang bisa dibilang setinggi bintang, dan aku lupa itu. Jujur, aku melupakan itu sampai sore itu, bintang karet Maila mengingatkan aku untuk kembali bermimpi dan berjuang untuk mimpi itu.
Hidup di Ngawu selama tiga hari membawa banyak pengalaman. Yang terindah adalah belajar dan hidup bersama mereka. Bukankah itu tujuan live in? Belajar dari hidup yang berbeda? Menurutku benar. Yang indah tapi menyedihkan adalah ketika aku berdoa di kapel Ngawu, menutup perjalananku disana. Berdiri di depan altar, menghadap kami, peserta live in, dan keluarga kami disana, mengucapkan doa diatas tangis sedih berpisah dengan mereka.
Aku menemukan banyak kebahagiaan dalam kehidupanku disana. Aku tidak bisa menuliskannya satu per satu disini karena mungkin aku mengingat kebahagiaan itu tidak karena harus kutuliskan disini melainkan karena aku kangen mereka dan aku merasakan kebahagiaan lain. Menurutku, itu kebahagiaan yang sempurna, ikatanmu dengan keluargamu.
Tantanganku Untukku dari Ngawu
Sebelum pulang, Mbah Atmo dan keluarga, terutama Mbah Kartiyem yang mengantar aku dan kawan seperjuanganku kembali ke Kapel, mendoakan aku. Mengatakan kepadaku bahwa aku akan menjadi seorang pemimpin. Mereka berdoa aku menjadi orang besar dan tidak lupa Ngawu, supaya aku belajar tinggi-tinggi.
Sebelum itu semua, aku hidup untuk aku, keluargaku, mimpiku, dan apa yang aku pikir aman untukku. Aku mendapat semangat dari Ngawu. Aku mendapat harapan dari Ngawu. Aku mau hidup bermimpi dan memeluk mimpi-mimpi itu untuk mereka yang memiliki ekspektasi padaku.
Kini, aku tidak hanya akan duduk di belakang. Aku mau merasakan berada dimanapun aku bisa berada untuk menjadi yang terbaik di depan, menyuarakan mereka. Aku mendapat semangat yang mengubah hidupku lebih baik setiap hari.